TUMPENG DAN FILOSOFINYA

Pada acara-acara syukuran sering kita menemukan nasi berbentuk kerucut dengan bermacam lauk disekelilingnya. Nasi tumpeng, begitulah masyarakat menamainya, memiliki filosofi yang unik di balik bentuknya yang kerucut ini. Makanan khas Indonesia ini biasanya disajikan pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Bagaimana asal-usulnya?

Asal-usul nama tumpeng, menurut kamus Baoesastra Djawa (1937) dan kamus Jawa Kuna Indonesia (1981), tumpeng berarti : sega diwangun pasungan atau "nasi yang dibentuk kerucut untuk selamatan". Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa : yen meTU kudu sing meMPENG (Bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya yang berjumlah 7 macam, dalam bahasa jawa disebut pitu , maksudnya adalah pitulugan (pertolongan).

Filosofi dari bentuk tumpeng yang kerucut, berkaitan erat dengan kondisi geografis Indonesia terutama pulau Jawa yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Penyajian tumpeng selalu disertai lauk-pauk. Tidak ada lauk-pauk baku yang menyertai nasi tumpeng.

Tumpeng yang biasa dibuat terdiri dari dua macam warna, yaitu putih dan kuning. Tumpeng warna putih biasanya digunakan untuk acara adat yang bersifat sakral. Sedangkan tumpeng berwarna kuning dibuat sebagai perlambang rasa syukur kepada sang pencipta. Cara memotong tumpeng juga tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Harus dimulai dengan memotong bagian pucuk dan memberikannya kepada orang yang paling "dituakan" sebagai penghormatan.

Dalam peringatan Hari Kartini ke-137 kemarin, "Kartini-Kartini SD 6 Cendono" yang terdiri dari ibu-ibu guru beserta wali murid mengadakan Lomba Tumpeng. Tujuan dari kegiatan tersebut selain untuk memperingati Hari Kartini, juga untuk mempererat tali silaturahmi antara guru dengan wali murid dan melestarikan salah satu budaya bangsa Indonesia.

by Ahmad Zamroni

No comments:

Post a Comment